Renungkanlah, Ibumu Bukan Tukang Asuh Anak-anakmu...!
Beberapa waktu yang lalu, tanpa direncanakan sebelumnya saya dan keluarga mampir ke rumah salah satu kenalan saya.
Sayang seribu sayang dia dan istrinya sedang tidak berada di rumah.
Yaa resiko berkunjung tanpa kontak terlebih dahulu. Kami hanya bertemu dengan emaknya dan beberapa orang cucunya - anak dan keponakan teman saya itu - yang masih kecil-kecil. Selama ini setiap kali dia dan istrinya serta sauadara-saudaranya tidak ada di rumah, baik bekerja atau aktivitas lainnya, emaknya lah yang menjaga anak-anak mereka. Saya tidak lama berada di rumahnya yang sederhana itu.
Rumah itu milik emaknya. Bapaknya telah lama wafat. Dulu rumah itu masih terasa luas, sekarang terasa sumpek karena disekat-sekat menjadi beberapa petak. Setiap petak diisi oleh anak-anaknya yang telah berkeluarga.
Sebelum pamitan, saya sempat berbincang-bincang dengan emaknya itu. Usianya sekitar 50 tahunan, tetapi wajah dan penampilannya seperti lebih tua dari usia sebenarnya. Selain itu, tergambar dengan cukup jelas raut wajah kelelahan.
Ya, beliau tidak hanya lelah menjaga & mengasuh cucu-cucunya, tapi juga harus mengurus rumah. Perhatian saya tertuju pada matanya yang terlihat tidak segar. Rupanya beliau baru sembuh dari sakit mata.
Selama sakit, beliau 'diistirahatkan' dari tugasnya menjaga (mengasuh) cucu-cucunya, khawatir tertular. Anak-anak dan menantunya lah yang bergantian menjaga cucu-cucunya untuk sementara. Yang membuat saya terhenyak adalah ketika emaknya bilang ' kalo boleh milih mah saya lebih suka sakit mata dari pada harus menjaga (mengasuh) cucu-cucu saya'. Ucapan beliau ini meluncur begitu saja dengan ekspresi yang datar. Saya yakin ini bukan karena beliau tidak sayang sama cucu-cucunya.
Beliau hanya khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan yang menimpa cucu-cucunya karena keterbatasan kemampuan tenaga beliau dalam menjaga (mengasuh) mereka. Saya tercenung mendengar ungkapan hati beliau. Saya teringat teman saya satu lagi yang juga menitipkngan anak-anak mereka kepada kedua orang tuanya. Setiap pagi sebelum berangkat bekerja, teman saya itu bersama istrinya mampir ke rumah orangtuanya untuk mendrop anak-anak mereka yang masih kecil-kecil.
Malam hari sekitar pukul delapan malam mereka menjemputnya pulang. Rutinitas ini dilakukan seminggu lima kali, bahkan bisa menjemput pulang lebih malam lagi kalo pekerjaan sedang over load. Maklum teman saya itu dan istrinya, dua-duanya bekerja di bank. Fenomena keluarga pasangan muda yang menitipkan anak mereka kepada orangtuanya sudah menjadi pemandangan yang biasa saat ini.
Tuntutan jaman dan ekonomi keluarga, membuat kedua pasangan ini harus bekerja. Resikonya adalah meninggalkan anak-anak mereka. Mencari pengasuh bukan hal yang mudah sekarang ini. Alternatif terakhir..yaaa dititipkan pada orangtua mereka.
Saya jadi teringat dengan 4 anak-anak saya dan 26 keponakan. Dari jumlah anak dan keponakan sebanyak itu, seinget saya tak satu pun dari mereka yang secara khusus dijaga atau diasuh oleh orang tua kami.
Ada bebarapa faktor yang menjadi sebabnya :
Pertama, sejak awal, saya & istri serta kakak/adik kandung/ipar memiliki komitmen tidak tertulis untuk tidak merepotkan orang tua/mertua dalam pengasuhan anak dan keponakan kami. Bagi kami, interaksi mereka dengan cucu-cucunya harus dalam konteks menyenangkan hati, bukan merepotkan atau bahkan melelahkan. Untuk situasi yang penting dan mendesak, pernah juga dititipkan pada mereka. Itu pun durasinya tidak pernah lama, hanya dalam hitungan jam saja.
Kedua, saya/kakak/adik/ipar berpisah dari rumah orang tua tidak lama setelah menikah. Ini cukup efektif mengasah kemampuan kemandirian dalam mengelola rumah tangga. Terutama kemampuan dalam mengurus dan mengasuh anak-anak.
Ketiga, berusaha mencari pembantu rumah tangga. Syukur-syukur yang bisa menginap di rumah. Kalau pun ngga, ya yang pulang pergi setiap hari.
Keempat, menjalin hubungan baik dengan banyak pihak terutama dengan saudara dekat dan tetangga termasuk dengan pembantu rumahtangganya. Ini penting karena untuk saat-saat tertentu, anak-anak bisa dititipkan pada mereka. Tentu saja untuk jangka waktu yang tidak terlalu lama. Untuk komplek perumahan seperti tempat tinggal saya yang hubungan dengan tetangga relatif intens, hubungan dengan tetangga dan pembantunya ini benar-benar sangat membantu.
Kelima, menggunakan jasa penitipan anak. Untuk untuk hal yang satu ini harus ekstra hati-hati. Memilih tempat penitipan anak ternyata tidak mudah.
Jangan sampai malah anak-anak kita menjadi terhambat perkembangannya baik fisik maupun psikis. Sebelum memutuskan pilihan, sebaiknya mencari informasi yang lengkap terutama dari orangtua yang anaknya dititipkan di tempat tersebut.
Menjaga, mengasuh dan mendidik anak memang pada dasarnya tugas kita sebagai orang tuanya. Segala keterbatasan yang ada sebaiknya tidak mengurangi dalam melaksanakan tugas mulia tersebut. Di sisi lain, kita juga mempunyai kewajiban memuliakan ibu/bapak kita.
Memuliakan ibu/bapak tentu saja tidak harus berupa materi, setidaknya minimal tidak merepotkan mereka. Dan tentu saja kita tetap mendo'akan mereka, semoga Tuhan menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi kita waktu kita kecil dulu. Amin.